Oleh Anung Umar
Ia terus mondar-mandir di depan barisan yang ada di hadapannya. Matanya begitu awas dan tajam memerhatikan dengan seksama seluruh anggota yang berbaris. Ia meluruskan dan merapikan barisan itu, seakan hendak meluruskan anak panah. Tak ada kecondongan dan kemiringan sedikitpun ketika itu. Sampai ketika akan bertakbir, tiba-tiba pandangannya jatuh pada sosok pria yang ada di tengah barisan. Dadanya agak menonjol ke depan, sehingga membuat barisan tidak lurus. Ia pun menegur, “Wahai hamba-hamba Allah, luruskanlah barisan kalian, atau Allah akan membuat perselisihan pada wajah-wajah kalian!” (HR. Muslim No. 436)
Demikianlah sikap Nabi SAW kita tatkala hendak melangsungkan shalat jamaah. Beliau begitu serius mengatur dan merapikan barisan (shaff) dalam shalat jamaah. Sampai-sampai beliau mengancam bahwa ketidakrapian barisan mereka di dalam shalat akan membawa konsekuensi berupa bercerai-berainya barisan mereka di luar shalat. Disebutkan dalam riwayat lain beliau berkata ketika merapikan barisan shalat, “Demi Allah, kalian luruskan barisan kalian, atau Allah akan membuat perselisihan pada hati-hati kalian!” (HR. Abu Daud No. 662)
Dari dua hadits di atas, para muhaqqiq (peneliti) dari kalangan ulama menetapkan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara lahir dan batin seseorang. Sebagaimana keadaan batin seseorang memengaruhi lahirnya, demikian pula lahirnya, bisa memengaruhi batinnya. Jika lahirnya baik, batin pun ikut baik. Sebaliknya, jika lahirnya buruk, batin pun ikut buruk. (Bahjatunnazhirin Syarh Riyadhushshalihin hal. 241)
Rapi atau tidaknya suatu barisan dalam shalat adalah perkara lahir, bukan batin. Namun, yang demikian itu ternyata membawa pengaruh pula kepada perkara batin, yaitu menentukan ‘rapi’ atau tidaknya hati-hati. Begitu juga dalam perkara lainnya. Tatkala seseorang melakukan kemaksiatan yang lahir dan nampak, akan berpengaruh pula pada batinnya. Batinnya akan rusak dan membusuk sebagaimana lahirnya rusak dan membusuk.
Jadi, kalau begitu, sangatlah keliru orang-orang yang begitu ‘perhatian’ terhadap perkara batin, sehingga ‘lupa’ dengan perkara lahir. Mereka terlalu ‘sibuk’ dengan hati sehingga meninggalkan berbagai amalan dan perintah syariat.
Ketika melihat saudara mereka yang semangat mengamalkan sunnah Nabi SAW yang bersifat lahir, mereka berkata, “Ia terlalu sibuk dengan ‘kulit’!”
Ketika diajak untuk melakukan beberapa amalan yang diperintahkan syariat, mereka menampiknya. “Yang penting kan hati!” ujar mereka.
Ketika diminta untuk meninggalkan maksiat dan kemungkaran, mereka tak mengindahkannya. “Yang penting kan hatinya!” dalih mereka.
Ketika diajak shalat, puasa dan menutup aurat, mereka menolaknya. “Yang penting kan hati!” alasan mereka.
“Buat apa pakai jilbab kalau perilakunya kotor dan kasar?! Mending tak memakai jilbab tapi hatinya bersih!”
“Buat apa rajin shalat kalau kelakuannya bejat?! Lebih baik jarang shalat tapi perilakunya baik!”
Padahal, jika hati seseorang baik, tentu akan nampaklah kebaikan itu pada lisan dan anggota badannya. Sebaliknya, jika hatinya buruk, akan nampaklah keburukan itu pada lisan dan anggota badannya. Baik-buruknya batin seseorang amat menentukan baik dan buruk lahiriahnya, begitu pula sebaliknya.
“Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging,” kata Nabi SAW kita, “Bila ia baik, akan baik seluruh jasadnya. Dan bila ia rusak, akan rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599)
Lantas apakah meninggalkan perintah syariat dan berbuat kemaksiatan adalah suatu kebaikan lahiriah, sehingga menunjukkan akan baiknya hati orang yang melakukannya? Atau justru itu pertanda atau alamat akan buruknya batinnya?
Seandainya kebaikan dan keburukan seseorang diukur semata-mata karena hati, tentu kita tak bisa membedakan mana orang yang baik dan jahat di dunia ini. Sebab hati manusia itu sesuatu yang tersembunyi. Tak ada yang tahu keadaannya kecuali pemiliknya (terutama Allah tentunya), sehingga mustahil bagi kita menentukan bahwa seseorang adalah orang baik, karena hatinya baik, sedangkan yang lain adalah orang jahat, karena hatinya jahat.
Umar bin Khaththab r.a berkata, “Sesungguhnya dahulu pada masa hidup Rasulullah orang-orang dihukumi dengan wahyu. Dan sekarang wahyu telah terhenti. Maka saat ini kami hanyalah menghukumi kalian atas perbuatan kalian yang nampak bagi kami. Siapa yang menampakkan kepada kami kebaikan, niscaya kami memercayainya dan kami dekatkan ia. Bukanlah urusan kami apa yang ada dalam batinnya, Allah lah yang akan memperhitungkan batinnya. Sedangkan siapa yang menampakkan kepada kami kejelekan, kami pun tak akan merasa aman dengannya dan tidak pula memercayainya, meskipun ia mengatakan bahwa batinnya itu baik.” (HR. Bukhari No. 2641)
Karena itu, menurut syariat islam, seseorang ketika di dunia dinilai berdasarkan lahiriahnya. Adapun batinnya terserah Allah. Jika jahat lisan dan anggota badannya, ia pun dianggap sebagai orang yang jahat menurut syariat. Jika baik lisan dan anggota badannya, ia pun dianggap sebagai orang yang baik menurut syariat. Setiap orang di dunia dinilai berdasarkan perbuatannya yang nampak.
Dan salah satu kaidah syariat yang populer:“Hukum itu dilandaskan atas sesuatu yang nampak adapun yang batin hukumnya adalah terserah Allah.”
Kalau demikian, seorang mukmin itu tidak hanya dituntut untuk memerhatikan lahiriah semata sehingga melalaikan batinnya. Begitu pula tak hanya memerhatikan batin semata, sehingga ‘lupa’ dengan lahirnya, melainkan kedua-duanya lah yang harus ia perhatikan. Sebab, lahir dan batin adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dan tak mungkin dipisahkan.
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah [2] : 208)
Ya, Maha Benar Allah, keseluruhan: lahir dan batin, “kulit” dan “isi”.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan juga harta kalian, tapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim No. 2564)
Ya, alangkah benarnya Rasulullah SAW, hati dan perbuatan, “isi” dan “kulit”.
Ia terus mondar-mandir di depan barisan yang ada di hadapannya. Matanya begitu awas dan tajam memerhatikan dengan seksama seluruh anggota yang berbaris. Ia meluruskan dan merapikan barisan itu, seakan hendak meluruskan anak panah. Tak ada kecondongan dan kemiringan sedikitpun ketika itu. Sampai ketika akan bertakbir, tiba-tiba pandangannya jatuh pada sosok pria yang ada di tengah barisan. Dadanya agak menonjol ke depan, sehingga membuat barisan tidak lurus. Ia pun menegur, “Wahai hamba-hamba Allah, luruskanlah barisan kalian, atau Allah akan membuat perselisihan pada wajah-wajah kalian!” (HR. Muslim No. 436)
Demikianlah sikap Nabi SAW kita tatkala hendak melangsungkan shalat jamaah. Beliau begitu serius mengatur dan merapikan barisan (shaff) dalam shalat jamaah. Sampai-sampai beliau mengancam bahwa ketidakrapian barisan mereka di dalam shalat akan membawa konsekuensi berupa bercerai-berainya barisan mereka di luar shalat. Disebutkan dalam riwayat lain beliau berkata ketika merapikan barisan shalat, “Demi Allah, kalian luruskan barisan kalian, atau Allah akan membuat perselisihan pada hati-hati kalian!” (HR. Abu Daud No. 662)
Dari dua hadits di atas, para muhaqqiq (peneliti) dari kalangan ulama menetapkan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara lahir dan batin seseorang. Sebagaimana keadaan batin seseorang memengaruhi lahirnya, demikian pula lahirnya, bisa memengaruhi batinnya. Jika lahirnya baik, batin pun ikut baik. Sebaliknya, jika lahirnya buruk, batin pun ikut buruk. (Bahjatunnazhirin Syarh Riyadhushshalihin hal. 241)
Rapi atau tidaknya suatu barisan dalam shalat adalah perkara lahir, bukan batin. Namun, yang demikian itu ternyata membawa pengaruh pula kepada perkara batin, yaitu menentukan ‘rapi’ atau tidaknya hati-hati. Begitu juga dalam perkara lainnya. Tatkala seseorang melakukan kemaksiatan yang lahir dan nampak, akan berpengaruh pula pada batinnya. Batinnya akan rusak dan membusuk sebagaimana lahirnya rusak dan membusuk.
Jadi, kalau begitu, sangatlah keliru orang-orang yang begitu ‘perhatian’ terhadap perkara batin, sehingga ‘lupa’ dengan perkara lahir. Mereka terlalu ‘sibuk’ dengan hati sehingga meninggalkan berbagai amalan dan perintah syariat.
Ketika melihat saudara mereka yang semangat mengamalkan sunnah Nabi SAW yang bersifat lahir, mereka berkata, “Ia terlalu sibuk dengan ‘kulit’!”
Ketika diajak untuk melakukan beberapa amalan yang diperintahkan syariat, mereka menampiknya. “Yang penting kan hati!” ujar mereka.
Ketika diminta untuk meninggalkan maksiat dan kemungkaran, mereka tak mengindahkannya. “Yang penting kan hatinya!” dalih mereka.
Ketika diajak shalat, puasa dan menutup aurat, mereka menolaknya. “Yang penting kan hati!” alasan mereka.
“Buat apa pakai jilbab kalau perilakunya kotor dan kasar?! Mending tak memakai jilbab tapi hatinya bersih!”
“Buat apa rajin shalat kalau kelakuannya bejat?! Lebih baik jarang shalat tapi perilakunya baik!”
Padahal, jika hati seseorang baik, tentu akan nampaklah kebaikan itu pada lisan dan anggota badannya. Sebaliknya, jika hatinya buruk, akan nampaklah keburukan itu pada lisan dan anggota badannya. Baik-buruknya batin seseorang amat menentukan baik dan buruk lahiriahnya, begitu pula sebaliknya.
“Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging,” kata Nabi SAW kita, “Bila ia baik, akan baik seluruh jasadnya. Dan bila ia rusak, akan rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599)
Lantas apakah meninggalkan perintah syariat dan berbuat kemaksiatan adalah suatu kebaikan lahiriah, sehingga menunjukkan akan baiknya hati orang yang melakukannya? Atau justru itu pertanda atau alamat akan buruknya batinnya?
Seandainya kebaikan dan keburukan seseorang diukur semata-mata karena hati, tentu kita tak bisa membedakan mana orang yang baik dan jahat di dunia ini. Sebab hati manusia itu sesuatu yang tersembunyi. Tak ada yang tahu keadaannya kecuali pemiliknya (terutama Allah tentunya), sehingga mustahil bagi kita menentukan bahwa seseorang adalah orang baik, karena hatinya baik, sedangkan yang lain adalah orang jahat, karena hatinya jahat.
Umar bin Khaththab r.a berkata, “Sesungguhnya dahulu pada masa hidup Rasulullah orang-orang dihukumi dengan wahyu. Dan sekarang wahyu telah terhenti. Maka saat ini kami hanyalah menghukumi kalian atas perbuatan kalian yang nampak bagi kami. Siapa yang menampakkan kepada kami kebaikan, niscaya kami memercayainya dan kami dekatkan ia. Bukanlah urusan kami apa yang ada dalam batinnya, Allah lah yang akan memperhitungkan batinnya. Sedangkan siapa yang menampakkan kepada kami kejelekan, kami pun tak akan merasa aman dengannya dan tidak pula memercayainya, meskipun ia mengatakan bahwa batinnya itu baik.” (HR. Bukhari No. 2641)
Karena itu, menurut syariat islam, seseorang ketika di dunia dinilai berdasarkan lahiriahnya. Adapun batinnya terserah Allah. Jika jahat lisan dan anggota badannya, ia pun dianggap sebagai orang yang jahat menurut syariat. Jika baik lisan dan anggota badannya, ia pun dianggap sebagai orang yang baik menurut syariat. Setiap orang di dunia dinilai berdasarkan perbuatannya yang nampak.
Dan salah satu kaidah syariat yang populer:“Hukum itu dilandaskan atas sesuatu yang nampak adapun yang batin hukumnya adalah terserah Allah.”
Kalau demikian, seorang mukmin itu tidak hanya dituntut untuk memerhatikan lahiriah semata sehingga melalaikan batinnya. Begitu pula tak hanya memerhatikan batin semata, sehingga ‘lupa’ dengan lahirnya, melainkan kedua-duanya lah yang harus ia perhatikan. Sebab, lahir dan batin adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dan tak mungkin dipisahkan.
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah [2] : 208)
Ya, Maha Benar Allah, keseluruhan: lahir dan batin, “kulit” dan “isi”.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan juga harta kalian, tapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim No. 2564)
Ya, alangkah benarnya Rasulullah SAW, hati dan perbuatan, “isi” dan “kulit”.
0 komentar:
Posting Komentar